Skip to main content

Surat Biru #4 (ShortStory)


Surat Biru  #4 

“Cindai…ada yang ingin bapak sampaikan tentang ayahmu.” Pertanyaan itu seakan-akan membuat duniaku berhenti. Pertanyaan yang kutunggu selama bertahun-tahun. Pertanyaan yang hampir saja ingin membuatku meninju bapak tua di hadapanku ini karena selalu menyembunyikan kebenaran apa yang dia tau. Tetapi entahlah, kali ini aku tak begitu bergairah mendengarnya.
  
“Cindai enggak mau denger tentang ayah. Cindai benci ayah.” Jawabku dengan tenang. Aku bisa melihat ekspresi pak tua ini berubah. Ia terlihat sedikit khawatir.
Setelah beberapa menit kami saling diam, pak Salim mulai mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Amplop biru. Yap! Amplop yang sama persis dengan amplop yang dikirim oleh ayah. “Kamu harus tau kebenarannya, Cindai..” Sekali lagi aku tak bergairah untuk mendengarnya. Bahkan sepotong informasi pun, enggan. Aku bukan lagi Cindai keras kepala yang akan menghentikan pak tua ini untuk bercerita. Aku sangat pasrah dengan kebenaran apapun yang akan dia ceritakan. 

“Ratusan surat biru yang kamu terima setiap bulan itu tidak benar-benar dikirim oleh ayahmu, Cindai.” Aku tersontak. Keningku mengkerut. Mendadak, aku menyampingkan tubuhku menghadap pak Salim agar bisa mendengarkan lebih serius. “Semua itu..bukan ayahmu lah yang mengirimnya, tetapi ibumu…iya ibumu,”mataku menjelalak. Seketika alveolusku tersangkut. Nafasku sesak saat itu juga. Aku melihat pak Salim mulai tertunduk dan menitikkan air mata. Aku tidak percaya.

“Ibumu lah yang mengirimkan surat itu lewat bapak. Ibumu juga yang menyuruh bapak untuk tidak memberi tahu siapapun tentang ini. Ibumu berusaha untuk membuatmu merasa senang, karena….,”pak Salim tidak melanjutkan. Ia tiba-tiba menangis. Aku semakin tidak mengerti. Aku merasakan urat-uratku mulai menegang. Sekuat mungkin aku menahan untuk tidak menangis. “Karena apa pak???”tanyaku penasaran. 

“Karena..karena ayahmu…,”nafasnya terengah-engah, “saat berangkat bekerja keluar kota, ayahmu mengalami kecelakaan dan tewas di tempat. Ibumu sangat terpukul saat itu. Dia menyembunyikan fakta dan kesedihannya dengan mulai bekerja sebagai buruh krupuk. Ibumu sangat mengerti betapa kamu sangat menyayangi ayahmu. Ia tidak ingin kamu tau bahwa seseorang yang kamu sayangi telah tiada. Maka dari itu ia membuat surat duplikasi sesuai perkataan ayahmu agar hal ini bisa dirahasiakan. Ayahmu sudah meninggal dunia sejak beberapa tahun yang lalu. ”Aku merasakan pipiku sudah banjir saat itu juga. Rasanya ingin memuntahkan seluruh isi perutku. Aku tidak kuat lagi. Aku ingin meledak.

Aku bangun dan mulai berlari menuju makam ibu. Pak Salim beranjak mengejarku. Aku berlari kencang dengan perasaan tidak menentu. Bagaimana mungkin seseorang yang aku tunggu selama bertahun-tahun telah tiada. Seketika wajah ibu mulai terngiang di pandanganku. Aku melihat senyum ibu. Aku melihat bagaimana diriku mengulang pertanyaan ratusan kali kenapa ayah tak pulang. Aku melihat ibu dengan kostum kancilnya. Aku teringat ayah, roti hangat coklat, surat pertama ayah. Aku melihat ibu dan ayah bersama. 

Ngiunggg..ngiungg..ngiung…Aku berada di ambulance. Kepalaku bersimbah darah. Aku tidak bisa merasakan apapun. Nafasku pelan-pelan mulai melambat. Penglihatanku semakin tidak jelas. Aku mendengar pak Salim terus memanggil namaku. 

Teruntuk Ayah yang jauh dalam jangkauan,
Tega sekali kau tak pernah pulang menengok anakmu...
Tidak rindukah kau, Ayah?
Suratmu pun ternyata tak pernah sampai...
Ayah, aku menunggumu di ayunan...
Ayah, kau tau? Gadismu ini sudah pandai membuat dongeng..
Ayah, pulanglah kerumah...kumohon...
Ayah..aku menyesal telah bersumpah membenci dirimu…
Ayah..kau tahu? Aku menunggumu karena aku hanya ingin menjadi kancil kecil kesayanganmu…
Aku rindu memakan roti coklat bersamamu…
Ayah…betapa bodohnya diriku menunggumu sedangkan kau sudah pulang lebih dulu…
Ayah..Ibu..tunggu aku di rumah kita…
Ayah..
Ibu…
Aku pulang…
TAMAT.

Comments

Popular posts from this blog

Kenalan

"Menulis adalah bekerja untuk sebuah keabadian" - Mr.Pramoedya Ananta Hollaa pertama-tama saya ucapkan hamdalah dan rasa syukur kepada Allah karna saya telah menyelesaikan pendidikan tingkat SMP (gue alumni SMPN 9 Bekasi-iya, ini ga penting) dan akan melanjutkan tingkat SMK tepatnya di SMKN 1 Bekasi. Fitri Wulandari. Lengkap gue. Nama yg terlihat 'biasa' dan  'sederhana'. Sesederhana roti tawar yg lo beli dialfamart.  Tapi ketika lo mencoba 'mensyukuri', 'menikmati', dan mengubahnya menjadi rotibakar/ sandwhich tentu akan menghasilkan rasa yg luar biasa. Nama yg terlihat pasaran tapi di dalamnya penuh keistimewaan. Nama singkat yg terkesan payah tapi didalamnya ada banyak berkah. Aamiinn. Remaja, masa dimana ingin mengekspresikan diri dan tulisan adalah bagian dari representasi ekpresi diri. Cita- cita gue ingin jadi orang bahagia - as simple as that ,  Gue suka berfikir out of the box , suka berfantasi dengan sight yang abs...

Sendiri Bukan Berarti Bebas (Opini#1)

Ternyata sendiri ga selamanya menyenangkan.  Ternyata sendiri jauh dari ekspetasi. Ternyata sendiri bukan berarti bebas. Apalagi sambil mengingat kawan lama, ternyata semua ga sesuai. Doa itu terkabul sambil terseret penyesalan. Pernah terucap tak menginginkan kawan dekat itu sesalnya. Alasannya ingin sendiri ya karena tidak ingin kecewa lagi dan terulang bagian lalu.”Teman dekatmu adalah peluang besar menjatuhkan mu” alasan lain. Satu hal, kenyataan yang kita harapkan ga akan pernah ada sampai kapanpun. Kata kuncinya, nikmatin. Ya gue harus nikmatin jalan yang udah semestinya gue lewatin. Mungkin gue terlalu fokus dengan ekspetasi mengejar  kesenangan diri sendiri. Sampe gue lupa, yang ada disekitar gue ternyata lebih berharga dari apapun. Momen sendiri membuat gue belajar dan sadar akan banyak hal. Ketika gue memasuki lingkungan baru dimana posisi gue teramat asing, hal itu terasa.  Ya gue sendirian. Tanpa partner. Bingung. Sekelibat kalimat “gue butuh lo disini, te...

Gerimis Kalimalang

Satu tetes mengisahkan dua kenangan Di bawah kios itu kita pernah meracik rasa Lekukan garis di ujung bibir mulai terngiang Membentuk konstruksi sederhana perihal cinta Pernyataan dan pertanyaan itu yang kuingat Seruput kuah kembali menalar Tempat ini masih sama Dengan sudut dimana aku bersua Adrenalin mulai terperanjat Hipokampus mulai memilah Dan alveolus mulai melambat Aku sesak.. Dua tetes menciptakan satu harapan Pahatan wajah Maha karya Tuhan yang paling indah Satu bagian mulai menggebu-gebu Yang kusebut itu rindu Semut-semut bebas berarak-arak Berpesta pora merayakan kelu berbalut asa Pertanyaan klise mulai muncul Argumen apa? mengapa aku kembali? Ohh…majas mana yang harus ku pilih? Hiperbola si berlebihan? Atau personifikasi si umpama Simile juga tentu menjadi pilihan Bukan… Ini lebih dari sekedar barisan kata menyambung Ini tentang secarik kecil cerita kita Yang sempat terobek dimakan waktu Tiga tetes meng...