Skip to main content

Surat Biru #3 (ShortStory)

Surat Biru #3

Sepanjang hidupku, aku selalu berterima kasih kepada Tuhan karena Dia menciptakan pohon dan jadilah kertas. Aku tak bisa membayangkan, jika bukan surat satu-satunya alat kami berkomunikasi, dengan apa lagi kami bisa berbicara? Ibu dan aku memang orang awam yang tak memiliki telepon. Televisi, kulkas, mesin cuci akan menjadi barang asing jika berada di rumah kami. Namun, aku tidak pernah merasa kesepian. Bagiku, surat-surat ayah lah yang menjadi teman sekaligus penghiburku.
Surat itu datang beberapa menit kemudian. Aku terperanjat mendengar bapak tua itu berteriak. Secarik amplop biru sudah di tanganku. 

Untuk  : Kancil Manis
Dari     : Penikmat Roti Coklat 

Halo sayang..apa kabar? Ayah penasaran, bagaimana kamu saat ini? Ayah yakin, kamu sudah menjadi gadis remaja yang semakin cantik setiap harinya. Gadis ayah sudah bisa apa ya sekarang?

Tahun ini ayah belum bisa menemui kamu. Ayah minta maaf sayang. Tetapi, ayah janji akan segera pulang. Ayah ingin, ketika pulang, kamu sudah menjadi gadis dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Tunggu ayah ya! 

Salam Rindu, 

Untuk yang pertama kalinya, aku tak merasa puas dengan surat ayah. Aku selalu berharap kata 'segera' dihilangkan, agar tidak ada penundaan untuk besok dan besok. Aku jauh lebih merindukanmu, yah.
*****
Beberapa minggu ini ibu sering kambuh sakitnya. Dan secara otomatis, surat ayah juga datang melambat. Aku sudah beberapa kali menjelaskan kepada ibu agar ia tidak usah bekerja dulu. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatannya, ditambah juga cuaca yang kurang bersahabat.

Penasaranku memuncak pada suatu saat ibuku lagi-lagi kambuh sakitnya. Kali ini demamnya luar biasa. Aku beberapa kali bolos sekolah untuk merawatnya. Kali ini, surat terlambat sudah lewat dari dua minggu. Ibuku juga demikian, sudah dua minggu lebih ia tak kunjung sehat. Ada dua hal yang memutar otakku. Memikirkan bagaimana cara membuat ibu sehat kembali dan mengapa surat ayah tidak juga datang. 

Hingga datang suatu hari yang amat berat untuk kuterima. Ibuku meninggal dunia setelah menahan rasa sakitnya selama sebulan. Kepalaku hampir pecah rasanya. Pelindung dan malaikatku telah diambil oleh Tuhan. Kehilangan luar biasa yang aku rasakan. Aku seperti usang yang tak punya arah. Surat ayah tak pernah lagi datang setelah kepergian ibu. Aku sangat marah padanya. Dan pada saat itu juga, aku bersumpah untuk membencinya.
***** 

Aku sekarang yakin, aku sudah hampir benar-benar gila seperti apa yang mereka katakan tentangku. Hidupku terasa ringkih. Penyemangat hidupku telah hilang. Roti coklat hangat, ayunan, ratusan surat biru tak lagi menjadi bagian istimewa dalam hidupku. Aku tidak percaya lagi keajaiban ataupun pepatah kuno. Kebahagian sudah jelas tak memihak. Aku merasakan ini sebagai kutukan.

Aku hidup sendirian sekarang. Beberapa tetangga ada yang menawarkan untuk tinggal bersama dengannya, tetapi aku tidak mau. Karena aku tahu, mereka tidak benar-benar peduli terhadapku. Aku putuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Untuk apa? Ibu sudah tidak lagi bekerja. Keseharianku hanya duduk di ayunan. Mitha, gadis dingin depan rumah itu mulai menyapaku kembali. Ayahnya pun seketika ramah padaku. Beberapa kali ia menawarkan untuk bermain ke rumahnya atau sekedar makan malam bersama. Aku tahu, mereka iba denganku. Penawarannya kutolak dengan senyum dingin. Kali ini, aku tidak ingin menyusahkan siapapun. 

Sama halnya dengan pak Salim. Sosok yang selalu membuatku jengkel mendadak sangat ramah. Hampir setiap sore dia menjengukku dan membawa makanan. Dia terlihat sedikit lebih muda saat menjadi ramah. Terbesit niat untuk menanyakan tentang ayah kepadanya. Tetapi, ku urungkan, karena aku tidak lagi ingin bertemu dengannya. 

 “Cindai…ada yang ingin bapak sampaikan tentang ayahmu.” 
Lanjut Surat Biru#4

Comments

Popular posts from this blog

Kenalan

"Menulis adalah bekerja untuk sebuah keabadian" - Mr.Pramoedya Ananta Hollaa pertama-tama saya ucapkan hamdalah dan rasa syukur kepada Allah karna saya telah menyelesaikan pendidikan tingkat SMP (gue alumni SMPN 9 Bekasi-iya, ini ga penting) dan akan melanjutkan tingkat SMK tepatnya di SMKN 1 Bekasi. Fitri Wulandari. Lengkap gue. Nama yg terlihat 'biasa' dan  'sederhana'. Sesederhana roti tawar yg lo beli dialfamart.  Tapi ketika lo mencoba 'mensyukuri', 'menikmati', dan mengubahnya menjadi rotibakar/ sandwhich tentu akan menghasilkan rasa yg luar biasa. Nama yg terlihat pasaran tapi di dalamnya penuh keistimewaan. Nama singkat yg terkesan payah tapi didalamnya ada banyak berkah. Aamiinn. Remaja, masa dimana ingin mengekspresikan diri dan tulisan adalah bagian dari representasi ekpresi diri. Cita- cita gue ingin jadi orang bahagia - as simple as that ,  Gue suka berfikir out of the box , suka berfantasi dengan sight yang abs...

Sendiri Bukan Berarti Bebas (Opini#1)

Ternyata sendiri ga selamanya menyenangkan.  Ternyata sendiri jauh dari ekspetasi. Ternyata sendiri bukan berarti bebas. Apalagi sambil mengingat kawan lama, ternyata semua ga sesuai. Doa itu terkabul sambil terseret penyesalan. Pernah terucap tak menginginkan kawan dekat itu sesalnya. Alasannya ingin sendiri ya karena tidak ingin kecewa lagi dan terulang bagian lalu.”Teman dekatmu adalah peluang besar menjatuhkan mu” alasan lain. Satu hal, kenyataan yang kita harapkan ga akan pernah ada sampai kapanpun. Kata kuncinya, nikmatin. Ya gue harus nikmatin jalan yang udah semestinya gue lewatin. Mungkin gue terlalu fokus dengan ekspetasi mengejar  kesenangan diri sendiri. Sampe gue lupa, yang ada disekitar gue ternyata lebih berharga dari apapun. Momen sendiri membuat gue belajar dan sadar akan banyak hal. Ketika gue memasuki lingkungan baru dimana posisi gue teramat asing, hal itu terasa.  Ya gue sendirian. Tanpa partner. Bingung. Sekelibat kalimat “gue butuh lo disini, te...

Gerimis Kalimalang

Satu tetes mengisahkan dua kenangan Di bawah kios itu kita pernah meracik rasa Lekukan garis di ujung bibir mulai terngiang Membentuk konstruksi sederhana perihal cinta Pernyataan dan pertanyaan itu yang kuingat Seruput kuah kembali menalar Tempat ini masih sama Dengan sudut dimana aku bersua Adrenalin mulai terperanjat Hipokampus mulai memilah Dan alveolus mulai melambat Aku sesak.. Dua tetes menciptakan satu harapan Pahatan wajah Maha karya Tuhan yang paling indah Satu bagian mulai menggebu-gebu Yang kusebut itu rindu Semut-semut bebas berarak-arak Berpesta pora merayakan kelu berbalut asa Pertanyaan klise mulai muncul Argumen apa? mengapa aku kembali? Ohh…majas mana yang harus ku pilih? Hiperbola si berlebihan? Atau personifikasi si umpama Simile juga tentu menjadi pilihan Bukan… Ini lebih dari sekedar barisan kata menyambung Ini tentang secarik kecil cerita kita Yang sempat terobek dimakan waktu Tiga tetes meng...