Surat Biru
Ngek..ngekk..ngekk.. Ayunan tua berkarat itu mengayun pasrah ke depan-belakang. Seolah percaya akan ada kesempatan waktu untuk kembali dioles oli segar oleh pembuatnya. Catnya juga sudah hampir mengelupas. Rambut panjang Cindai ikut berayun hampir tersentuh tanah.
Jam 2..jam 3…jam 4..jam 5...tigaa..empat..lima…dan besok genap enam tahun… Hei daun! Bisakah kau jelaskan mengapa ia tak ingin pulang menemuiku? Aku bertanya kepada daun kering setengah patah. Sama patahnya seperti diriku. Yang kehilangan dan merindukan satu bagian dari yang lainnya.
Katanya jika kita percaya akan sesuatu hal, kita akan mendapatkannya. Pepatah kuno yang masih kuyakini. Mataku mencari-cari kepastian di sela barisan semut rangrang yang berbaris untuk kembali pulang karena hari sudah sore. Jika sore adalah pertanda yang bekerja harus segera kembali, mengapa ia tak kembali? Lagi-lagi aku mencibir kesal.
Di sebrang sana aku melihat seorang ayah tergopoh-gopoh membawa sekotak donat berlabel Dunkin Donuts yang sepertinya ia beli dari toko di perempatan jalan. Katanya sih lagi ada promo, gumamku. Ia melambaikan tangan kepada putri kecilnya yang telah menunggu hampir setengah jam di depan pintu. Aku bisa merasakan apa yang Mitha rasakan. Ya, namanya Mitha, gadis lugu 2 tahun di bawahku. Senyum gadis itu selalu membuatku merasa kesal. Kita tak pernah berbicara lagi setelah 4 tahun. Aku pernah marah dengannya, bahkan aku pernah menjambak rambutnya. Dan setelah itu, aku tak lagi memiliki teman. Diva, Sisil dan Rena juga menjauhiku. Katanya, aku ini seperti orang gila.
Aku masih ingat dulu ayah selalu membawa roti coklat hangat untukku setiap kali pulang bekerja. Bahkan sering, aku meminta tambahan jatah roti dua atau tiga. Dan kalau tidak langsung dituruti, sudah pasti aku menggerutu. Tetapi, sesosok ayah yang aku kenal, tidak akan membiarkan anaknya merasa sedih. Karena akulah anak kesayangannya. Aku sangat bangga dengan kenyataan itu.
Pandanganku kembali kepada mereka. Mereka terlihat sangat bahagia. Wajah ayah yang lelah bekerja seharian terhapuskan ketika menemui putrinya. Sehabis ini, mereka akan bersama-sama menghabiskan donut coklat promo yang lezat itu dan menceritakan segala hal dan rahasia. Ahhh, sungguh menyenangkan!
Brukkkk…Karena terlalu kesal, aku menjatuhkan kotak suratku dari pangkuan. Kotak surat yang terbuat dari kayu tua ke abu-abuan lusuh. Namun, tetap kokoh untuk menyimpan ratusan surat biru dari ayah. Dan besok akan ada surat dengan urutan ke-143. Aku selalu membuat catatan urutan dan kapan surat itu akan datang. Pak Salim, tukang pos tua bersama sepeda reyotnya biasa datang setiap minggu kedua dan keempat.
Dengan segera, aku merapikan surat-surat ayah yang tergeletak di atas tanah. Fyuhhh…untung tidak kotor. Bodoh sekali kamu Cindai!
*****
“Ibuuu….”
“Yaa
sayangg..?”
“Apa
Pak kumis putih itu sudah datang?”
“Hmm
belum..mungkin nanti sore.”
“Uhh,
lama sekali kalau harus menunggu sampai
nanti sore.”
“Yaa
bersabarlah dai, mungkin dia terjebak macet atau sesuatu.”
“Ya..mungkin
saja….terjebak para monster atau pusaran atlantik. Atau di serang harimau
terbang,” pikirku,“aku selalu berdoa supaya dia tak mati sebelum mengantar
suratku.”
“Hushhh..kamu
ini!”
Ibuku seorang buruh krupuk di pinggir kota. Usianya mungkin masih terbilang muda, namun karena harus bekerja ekstra menumbuk, mencetak, menjemur dan menjajakan ke setiap warung kelontong di pelosok desa, kerutan-kerutan lelah di wajahnya membuat ia terlihat lebih tua. Demi menghidupi kebutuhan keluarga dai, alasan klasik ibu setiap kali aku bertanya mengapa ia harus bekerja sedangkan ayah di luar sana bekerja keras mencari uang.
Aku pernah sesekali membayangkan mengajak ibu ke salon. Setidaknya sedikit polesan orang salon akan membuat ibu jauh terlihat lebih cantik dan muda. Tetapi, itu semua hanya khayalku. Semua butuh uang dai. Aku benci setiap kali membahas uang. Menurutku, uang sudah memperbudak ayah sehingga ia mati-matian mencari uang dan tidak ingin pulang menemuiku.
Uang juga sudah membuat ibu terlihat tua. Seandainya aku punya banyak uang, tak hanya salon yang akan kudatangi, toko roti paman Jaka akan kubeli beserta seluruh isinya. Atau bahkan, dengan uang, akan kubayar atasan ayah agar ia mengizinkan ayah segera pulang.
Aku ragu ayah masih mengingat wajahku. Apa yang sedang ia lakukan di luar sana? Bekerja sebagai apa? Apa dia seorang ilmuwan yang sedang melakukan riset? Kalau memang iya, uangnya pasti banyak. Kalau begitu, ibu pasti tidak harus bekerja di tempat melelahkan itu. Atau ayah seorang nelayan yang sedang berlayar mengarungi samudra? Ah pertanyaan itu selalu berkecamuk dalam pikiranku. Kurebahkan tubuhku di atas sofa tua yang busanya sudah hampir habis karena rumah kami beberapa kali kebanjiran. Baunya juga sudah pesing dan apek.
Setiap pagi ku habiskan waktu untuk membaca surat dari ayah atau sekedar meraba-raba pekerjaan ayah dan bagaimana ia sekarang. Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Dia selalu menggendong dan menyanyikan lagu kesukaanku. Salah satunya adalah Si Kancil. Kata ayah, aku ini nakal seperti kancil.
Ayah juga sering mengajakku bermain. Ayunan di depan rumah, dialah yang membuat. Katanya, jika ia belum pulang bekerja, aku bisa menunggu di sana. Dan sampai saat ini, ayunanlah tempat favoritku menunggu. Ia selalu bilang, kelak aku akan menjadi gadis dewasa yang manis dan akan mempunyai banyak teman. Namun, aku tidak ingin menjadi dewasa. Aku hanya ingin menjadi gadis kecil penyuka roti coklat dan kancil kecil kesayangan ayah.
Lanjut Surat Biru #2
Comments
Post a Comment