Surat Biru#2
Aku bak seorang putri raja yang mempunyai ayah hebat dan ibu yang sangat menyayangiku. Namun, semuanya berakhir, setelah ayah pamit untuk bekerja di luar kota. Aku masih ingat, betapa sedihnya aku berpisah dengan ayah. Saat itu umurku 7 tahun. “Kancil kecil ayah ga boleh nangis. Ayah hanya bekerja kok cuma pindah tempat lebih jauh. Nanti, dua minggu sekali ayah akan pulang. Cindai bisa tunggu ayah di ayunan. Kalo ayah tidak pulang, akan ada surat yang datang,” kalimat terakhir ayah yang bisa meyakinkanku. Sejak saat itu aku selalu menunggu ayah setiap sore di ayunan. Bahkan aku hampir tidak pernah lagi keluar rumah selain ke sekolah, pasar untuk menemani ibu dan kantor pos jika pak Salim telat mengirimkan surat.
Dua minggu pertama ayah keluar kota, ayah belum pulang. Aku tidak begitu merasa khawatir karena ayah pasti segera mengirimkan surat. Dan benar, akhir bulan aku mendapat surat dengan amplop biru tua dengan kertas biru bergaris. Ayah memang mengerti warna kesukaanku. Surat pertama ayah selalu menjadi yang pertama, utama, dan rutin kubaca setiap pagi. Surat kabar atau pun koran lain tak semenarik surat dari ayah.
Untuk : Kancil kecil ayah
Dari : Pemilik kebun ketimun
Halo kancil maniss! Apa kabarmu?
Semoga hari ini kamu tidak membuat ibumu repot ya karena merengek minta jatah
roti dua kali lipat. Maaf, ayah belum bisa pulang menemui kamu dan ibu.
Ternyata urusan ayah begitu repot. Disini ayah rindu sekali dengan Cindai.
Oh yaa, ayah sekarang tinggal di
kontrakan kecil. Pemilik kontrakan ayah berbadan besar. Ayah jadi ingat pak
Jaka pembuat roti coklat yang sering kita ledek sapi besar pemasak roti.
Tetangga ayah juga ada yang mirip bu Wulan. Kamu tau? Ibu penjual nasi uduk
yang selalu mengeluh karena kita sering mengambil karetnya untuk
perang.Kenakalan kamu sering membuat ayah rindu. Kamu jangan khawatir ya, ayah
akan segera pulang. Tunggu ayah di ayunan.
Salam Rindu,
Dan
begitu seterusnya. Ayah tidak pernah pulang. Ia hanya mengirimkan surat dan
surat tiap bulannya. Isinya pun hampir selalu sama-ayah akan segera pulang. Aku ingin marah dengannya, tetapi ibu
selalu membujukku untuk memaklumi. Sempat aku berniat untuk mengirimkan surat
terlebih dahulu , tetapi aku tidak tahu alamat dimana ia tinggal. Ibu juga tak
memberitahuku. Pak Salim jelas merahasiakan.
Aku
pernah merayu pak Salim beberapa kali dengan roti coklat kesukaanku, krupuk
jatah makanku, pisang, dan banyak hal tetapi ia tetap bersikeras
menyembunyikan. “Saya ndak tau..saya
rasa ayahmu selalu berpindah tempat,” kalimat sangkal nya setiap kali aku
bertanya. Aku menangis di hadapannya pun ia tidak peduli. Aku selalu berharap
ada pengganti pak Salim yang lebih bisa di ajak toleran.
Aku
juga sering mengajak ibu untuk mencari alamat ayah ke luar kota. Tetapi kata
ibu aku hanya butuh sabar. Hey!
Apakah sabar selama bertahun-tahun belum cukup?Aku pernah berniat untuk kabur
mencari ayah, tetapi kuhiraukan niat itu. Aku tak mungkin melakukan itu, karena
anak mana yang tega meninggalkan ibunya sendirian di rumah? Ibuku sangat
menyayangiku. Dia selalu berusaha menggantikan peran ayah. Salah satunya dengan
memanggilku kancil manis. Aku tahu ibu sangat berusaha keras untuk itu. Bahkan
pernah saat hari usiaku bertambah, ia memakai kostum kancil yang di pinjam dari
badut pasar malam. Demi membuat anaknya senang, katanya.
Aku
tetap sekolah sebagaimana mestinya seorang anak. Hanya saja, di sekolah aku
sangat menutup diri. Tak masalah tidak mempunyai teman dekat. Bagiku, tujuan
sekolah adalah agar bisa bekerja enak
nantinya. Aku tidak ingin membiarkan ibu terus menguras tenaganya untuk
menghidupiku.
*****
Surat
143-ku akan segera datang. Aku menduga isi pesan itu masih sama seperti
kemarin-kemarin. Hanya janji-janji tetapi tak terlihat aksinya. Aku tidak
mempermasalahkan hal itu, karena sastra bukanlah bidang ayah. Aku menunggu
surat itu bulak-balik kesana-kemari,
tetapi tidak muncul juga.
“Kau
tahu? Berlaku seperti itu, hanya membuatmu terlihat seperti orang aneh.
Duduklah!”
“Tidak,
Ibu. Aku tak ingin pak tua melewatkan halaman ini dan melupakan suratku.”
“Umurnya
kan sudah berkepala enam, maklumi saja. Surat itu akan datang. Kau hanya perlu
duduk manis dan bersabar.”
Rayuan ibu selalu membuatku
terjebak. Aku menuruti perkataan ibu. Kakiku terus menghentak. Hari ini ibu
tidak sakit, mengapa surat itu bisa terlambat?
Lanjut Surat Biru#3
Lanjut Surat Biru#3
Comments
Post a Comment